Minggu, 07 November 2010

Harimau Harimau

Memperhatikan adanya konflik antara manusia dan harimau di Sumatera Selatan yang telah menghilangkan 9 nyawa manusia dan membunuh jumlah yang tidak sedikit harimau serta adanya kekhawatiran sebagian warga yang bermukin di sekitar hutan di Padang, ingatan saya langsung tertuju pada novel yang dibuat oleh Muchtar Lubis yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1975 yang berjudul harimau harimau.
Novel tersebut menggambarkan tentang karakter tujuh orang yang menjadi tokoh sentral cerita. Ada Haji Rachmad yang skeptis memandang kehidupan karena pengalaman-pengalaman pahit yang dilaluinya selama ini. Ia kemudian lebih memilih hidup menyendiri dan menghindar dari komunikasi dengan warga. Wak Katok, tokoh antagonis yang dianggap memiliki ilmu beladiri tinggi serta kesaktian supranatural. Balam yang seusia denga wak Katok namun terlihat lebih pendiam, ia lebih banyak bekerja daripada berbicara.
Sedangkan yang lain adalah Buyung, Talib, Sutan, dan Sanip. Keempatnya adalah pemuda yang penuh semangat dalam mengarungi kehidupan. Ketujuh tokoh sentral bersepakat untuk koalisi mencari damar di hutan.
Dalam perjalanan pulang setelah berhasil mendapatkan damar yang cukup banyak, rombongan ini diserang oleh harimau tua yang mangsanya diburu oleh mereka. Satu persatu anggota rombongan tewas karena serangan harimau. Kejadian ini memaksa mereka untuk mengakui kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan selama hidup. Satu sama lain saling terperanjat karena ternyata orang yang mereka kenal secara baik-baik memiliki sisi kelam, berupa kejahatan-kejahatan dan kemunafikan yang disembunyikan.
Apa yang diungkapkan oleh novel ini sejalan dengan pendapat Ervin Goffman yang mengatakan bahwa dalam kehidupan manusia ada apa yang dia sebut sebagai panggung depan atau fron stage dan panggung belakang atau back stage.
Walau pun mungkin ditulis dengan maksud yang berbeda, namun novel tersebut bisa menggambarkan prilaku kita sebagai manusia dalam kaitannya dengan alam. Konflik antara manusia dan harimau baru-baru ini adalah sebuah kejadian yang tidak terjadi tanpa sebab. Kejadian tersebut adalah akibat dari rangkaian prilaku kita sebagai manusia yang tidak arif memberlakukan alam. Entah berapa juta hektar hutan sebagai habitat asli harimau (Panthera tigris sumatraensis) hilang, belum lagi menghitung jumlah binatang sebagai makanan utama harimau ikut mati, karena diburu atau juga habitat yang terganggu dan juga punahnya ekosistem sebagai siklus pra-syarat mutlak adanya siklus kehidupan yang ikut musnah.
Sebenarnya, selain pemerintah, banyak pihak yang secara terang-terangan mengklaim dirinya sebagai penjaga pelestarian lingkungan, baik yang mengurus hutan maupun spesies tertentu, tetapi pada kenyataannya hilangnya keanekaragaman hayati dan kerusakan lingkungan terus melaju tak terkendali. Saling lempar kesalahan pun terjadi dan tidak jarang pemerintah dianggap tidak becus mengurus alam.
Kejadian harimau yang menerkam manusia, sama seperti dalam novel Muchtar Lubis adalah sebagai pesan yang dikirim Tuhan untuk menghukum yang berdosa. Harimau yang menerkan manusia pada hakekatnya adalah menerkam kita semua. Mencabik-cabik pemikiran dan prilaku kita sebagai manusia dalam memberlakukan alam selama ini.
Novel yang ditulis oleh Muctar Lubis puluhan tahun yang lalu masih banyak yang cukup relevan dalam menggambarkan situasi tersebut. Jangan-jangan yang menjadi Wak Katok adalah kita sendiri bukan pemerintah atau siapapun. Berlindung dalam kepura-puraan dan kesombongan wawasan. Jimat kita adalah program-program konservasi serta penyelamatan lingkungan yang ternyata tidak mempan dari kerusakan alam, sama seperti jimat buatan wak Katok yang dipakai oleh pak Balam, Sutan, dan Talib yang tidak menyelamatkan mereka dari terkaman harimau.
Mantra kita adalah aneka teori penyelamatan lingkungan dari berbagai kunjungan ke guru besar atau simposium dan pertemuan sejenisnya yang kerap kita datangi, tetapi sebenarnya bukan lingkungan yang hendak kita selamatkan melainkan diri kita sendiri. Selamat dari kemiskinan dan gunjingan publik. Berdiri dengan gagah sambil berteriak lantang akulah sang penjaga lingkungan, akulah yang mengurus lingkungan, dan akulah sang pahlawan yang menyelamatkan kehidupan ribuan spesies. Kita berbangga diri dengan program-program yang kita tawarkan, tanpa peduli apakah program tersebut cukup efektif dalam menjaga kerusakan, apalagi mensejahterakan masyarakat. Kita berbangga diri karena kita mendapatkan banyak dana yang besar untuk mengurus lingkungan.
Apabila kita memaknai terkaman harimau di Sumatera Selatan sebagai pesan Tuhan untuk kita semua, maka sungguh terdapat banyak pelajaran dari pesan tersebut. Untuk memaknai pesan Tuhan yang simbolis tersebut, butuh kerendahan dan kejernihan hati tanpa prasangka terhadap siapapun. Sehingga yang diperlukan kita saat ini adalah bukan saling menyalahkan melainkan introspeksi diri melalui pengakuan kesalahan dan mulai berbenah untuk bersama-sama berkordinasi memperbaiki kesalahan.
Bahwa mungkin sebenarnya ada yang salah dalam diri kita, baik niat ataupun cara kita dalam menyampaikan kampanye pelestraian lingkungan, atau jangan-jangan sebenarnya kita belum melakukan apapun untuk lingkungan bila kita memperhatikan masih berlanjutnya kerusakan lingkungan dan aneka keserakahan manusia lainnya.





Kamis, 04 November 2010

Homo Riseticus

Tulisan ini adalah refleksi diri sendiri, tanpa ada upaya untuk menyudutkan atau mengkritik orang lain, kalau ada yang merasa tersudut atau terkritik ya berarti dia memang ada di sudut atau dalam kondisi kritis. Tulisan ini juga sekaligus menyambung postingan yang dilakukan oleh pak Pramono, tentang empat tanggung jawab peneliti seperti yang disampaikan oleh pak Bashori imron.

Menurut saya, yang namanya peneliti adalahspesiesbaru yang berbeda dengan spesies-spesies lainnya. Walaupun memiliki ciri-ciri atau kararter sama. Tetap saja mereka berbeda. Sebagai spesies baru maka dengan tanpa mempertimbangkan kaidah perbiologian, saya memasukkan peneliti dalam spesies Homo riseticus, kalau latinyya seh investigatio kayaknya. Tapi dengan pertimbangan enak diucap dan hemat kata-kata maka Homo riseticus lebih mengena daripada Homo investigatio. Ada yang bisa menambahkan?

Homo riseticus adalah salah satu makhluk hidup di dunia yang memiliki keunikan tersendiri. Bahkan karena uniknya spesies yang satu ini maka berbagai persoalan muncul karena prilakunya. Menurutku Homo riseticus adalah salah satu keajaiban dunia, semua kategori keajaiban dunia ada di makhluk hidup satu ini, baik kategori alam maupun kategori benda.

Secara biologi Homo riseticus masuk dalam family homonidae (kera besar), walaupun begitu Homo riseticus bisa masuk dan digolongkan kemanapun, tergantung pada selera yang membuatnya. Mau dimasukkan pada kelompok mamalia ya bisa karena toh manusia juga mengunyah dan berburu, mau dimasukkan pada kelompok aves juga oke karena toh merekapandai terbangdari satu tempat ke tempat lainnya. Mau dimasukkan ke kelompok insect atau serangga ya monggo, toh mereka juga menjadi pollinator dan penyebar biji. Jadi, ya silahkan saja Anda mau memasukkannya ke kelompok mana?.

Walaupun masuk dalam keluarga homo, tetapi homo riseticus memiliki tabiat yang berbeda dan unik. Itu yang membedakannya dari homo-homo lainnya. Susah diatur, mau menang sendiri, ulet, teliti dan detail, ngeyel mau menang sendiri, kreatif, jujur, dan lain sebagainya adalah streotipe yang melekat pada homo riseticus. Kemana pun homo riseticus pergi maka streotipe yang melekat dalam bajunya akan ikut terbawa.

Mungkin dengan adanya berbagai atribut streotipe dan juga mungkin karena bisa dikelompokkan dalam family apapun membuat daya tahan hidup homo riseticus tergolong tinggi juga. Daya tahan ketika berada di lapangan maupun berada dalam kehidupan realitas sehari-hari. Bila berada di lapangan (hutan atau kampung orang lain) mereka bisa bertahan hidup dengan memakan apa yang ada di sekitarnya dan makan layaknya orang kampung makan, tanpa ada rasa jijik atau sikap-sikap yang menunjukkan mereka berasal darikastalebih tinggi dari penduduk lokal.

Sedangkan dalam realitas sehar-hari, mereka bisa terus hidup bahkan tetap mengembangkan spesiesnya dengan gaji bulanan yang sangat minim, bahkan mungkin lebih minim dari gaji supir pribadi di Jakarta. Padahal beban kerja dan kerja otak sangat tinggi. Di tengah situasi demikian otak Homo riseticus juga harus selalu berpikir mencari solusi antara kebutuhan dasar dan kebutuhan intelektual. Bagaimana dua kebutuhan ini berjalan seimbang. Keluarga bisa makan dan penelitian terlaksana dengan baik adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benar Homo riseticus. Dua kebutuhan ini menjadi pertarungan abadi pada homo riseticus. Mungkin karena adanya pertarungan itu yang menjadi daya hidupnya tinggi.

Namun sialnya, apa karena ketangguhan Homo riseticus dalam melampaui tantangan atau juga karena aturan yang dibuat sehingga mereka juga dibebani tetek bengek yang berkaitan dengan kwitansi dan saudara-saudaranya, yang membuat mereka tambah repot. Tidak ada biaya materai tetapi di lapangan harus ada yang dimaterai’i, adalah contoh kecil saja. Beban penelitian, lapangan yang kejam, laporan, membuat karya tulis ilmiah, dan mengurus administrasi pengajuan fungsionalnya tampaknya masih dinggap beban ringan oleh sebagian orang sehingga mereka harus juga dititipi beban tambahan. Jadi tidak hanya empat tanggung jawab, melainkan lebih banyak dari itu.

Sedikit bukti yang dapat ditunjukkan bahwa homo riseticus memiliki daya tahan hidup yang tinggi ya kita lihat saja, individu yang lahir dari kelompok ini relatif berumur panjang bila dibandingkan dengan homo-homo lainnya (Pak Mien dan pak Kuswata contohnya, mereka masih tetap perkasa di usia senja). Sangat jarang spesies homo riseticus mati muda, kalau tidak terserang penyakit ganas selagi berada di lapangan atau kecelakaan ketika berada di lapangan.

Banyaklah kisah-kisah mengenai ketangguhan makhluk hidup Homo riseticus ini selagi berada di lapangan. Mereka bisa dengan cekatan mengatasi dana minim dari kantor dengan cara jitu, salah satunya adalah penyederhanaan menu harian menjadi ikan asin dan mie yang menjadi santapan rutin setiap harinya, mengatasi peralatan sederhana yang dimilikinya dengan cara menciptakan alat-alat darurat berbahan dasar alam semesta. Solusi-solusi darurat dan kreatif selalu mereka temukan, sebagai sistem adaptasi barangkali.



Penelitian yang Membelenggu dan Membebaskan

Dunia homo riseticus adalah dunia kreatif yang sarat dengan ekplorasi pemikiran. Di sini gudangnya orang-orang yang ber-IQ tegak lurus tidak bengkok-bengkok apalagi jongkok seperti saya. Dalam penelitian, segala hal dicari tahu sampai sedetail-detailnya sampai semua pertanyaan penelitian terjawab. Tidak ada kata menyerah dalam kamus mereka.

Walaupun sarat dengan nuansa ilmu pengetahuan dan dibekali kecerdasan yang luwih atas Homo yang lain, tidak berarti para Homo riseticus yang berkecimpung dalam dunia penelitian sadar bahwa ada penelitian yang membelenggu dan ada penelitian yang membebaskan. Dua hal ini selalu berjalan beriringan dan batasnya sangat samar.

Penelitian yang membelenggu adalah aktifitas penelitian yang sifatnya mengulang. Hal yang dilakukan merupakan pengulangan dari apa yang dilakukan oleh seniornya, dosennya, atau juga tokoh panutannya. Tanpa ada usaha untuk keluar dari apa yang telah digariskan.

Dalam penelitian yang membelenggu, aktifitas penelitian berkisar pada itu-itu saja. Bila senior atau panutan melakukan A, B, C, dengan cara A, B, C, maka ia akan melakukan sama persis dengan yang dilakukan oleh seniornya. Hanya beda tempat dan waktu, dan begitu seterusnya. Apa yang dikatakan oleh senior atau panutannya sebagai benar dan cara benar maka dianggap sebagai kebenaran penelitian. Tanpa ada pertanyaan atau eksperimen lanjutan.

Sedangkan penelitian yang membebaskan adalah aktifitas penelitian yang pelakunya merasa bebas untuk berpikir, berkreasi, dan berimajinasi tanpa terkungkung oleh aturan-aturan yang mengikat atau juga karya-karya orang lain. Apa yang telah dilakukan oleh orang lain dianggap sebagai data tambahan atau bagian dari inspirasi, tidak membebek.

Dalam penelitian yang membebaskan juga mereka tidak berpikir tentang manfaat dari penelitiannya, apa yang mereka lakukan akan bermanfaat dengan segera atau tidak. Azas manfaat dari hasil penelitain merupakan salah satu belenggu kreatifitas. Walaupun demikian hasil penelitian mereka dikemudian hari akan bermanfaat bagi manusia dan untuk kehidupan yanglebih luas.

Dalam penelitian yang membebaskan, peneliti mampu berpikir independen tanpa intervensi dari manapun, mampu keluar dari mainstream umum yang berlaku di lingkungannya dan mempertanyakan segala sesuatu. Penelitian yang membebaskan akan membuat pelakunya merasa bebas untuk bereksperimen dan mengeksplorasi akal pikiran.

Semua tokoh-tokoh besar yang lahir dari rahim ilmu pengetahuan mampu berpikir dan bertindak yang membebaskan. Mereka tidak pernah memikirkan apapun selain apa yang ditelitinya, mereka bisa keluar dari mainstrem umum yang berlaku. Rumphius, Junghunn, Wallace (tiga ilmuwan ini saya kagumi, kalau mereka mengikuti Indonesia Idol atau Indonesia Mencari Bakat, atau Ilmuwan favorite yang bekerja di Indonesia maka saya akan kirim banyak sms untuk mendukung mereka bertiga), Linnaeus, Einsteain, dan peneliti penemu lainnya (silahkan anda memasukkan nama yang lain) adalah contoh bagaimana mereka membebaskan diri mereka dari belenggu.

Tetapi bagaimana mau bebas dari belenggu ya? Wong.....

Mati demi kecintaan pada ilmu pengetahuan (seperti Wallace, Rhumphius, dan Junghun) atau berdamai dengan keadaan yang membuat belenggu itu makin kencang mencekeram kita...semua pilihan ada pada kita...














Senin, 21 Desember 2009

Persembahan untuk Laut dan Grebeg Suran

Dalam penanggalan Jawa, 1 Suro adalah Tahun Baru yang mengandung kegembiraan, syukur, doa, dan harapan untuk tahun berikutnya. Para nelayan dan petani memeriahkan ajang tersebut dengan menggelar persembahan.

Bagi nelayan di pesisir selatan Cilacap, 1 Suro diisi dengan sedekah laut. Mereka seolah melupakan sejenak beratnya kehidupan sebagai nelayan.

Semua penduduk kampung nelayan mendatangi tempat pelelangan ikan di Desa Kemiren, Kecamatan Cilacap Selatan, Jumat (18/12). Di situ ada panggung untuk pementasan lengger dengan iringan gamelan banyumas. Mereka siap berpesta.

Dari arah jalan desa muncul arak-arakan. Rombongan itu meliputi enam pria pembawa tandu berukuran 2 meter x 3 meter. Di atas tandu terdapat aneka sesaji seperti nasi tumpeng, kepala kambing, ayam panggang, buah-buahan, dan berbagai penganan tradisional lainnya.

"Semua itu sesaji yang di larung ke tengah laut. Berdasarkan tradisi, sesaji itu persembahan untuk Sang Ratu (Ratu Pantai Selatan). Namun, itu simbol tradisi saja," kata panitia acara Sodikin (45).

Melarung sesaji adalah puncak kegiatan sedekah laut. Saat larungan itu, nelayan dilarang melaut. Melaut menjadi pantangan tetap bagi nelayan saat Suronan. Apalagi, pada hari itu adalah Jumat Kliwon, waktu ketika nelayan dilarang mencari ikan.

"Kami berharap, nelayan selalu diberi berkah dan keselamatan. Penunggu laut tidak gampang marah dan ikan melimpah," kata Bahurekso (56), sesepuh kampung.

Sebelum sesaji dilarung, ratusan nelayan setempat berkumpul di tepi pantai. Mereka bersama-sama mengucapkan rasa syukur dan doa harapan agar Tuhan memberikan rezeki dan keselamatan di laut.

Sedekah laut itu bukan sekadar ritual tradisi. Kegiatan tersebut menjadi katarsis atau pelepasan sejenak atas beban hidup yang harus mereka jalani selama setahun mencari nafkah di laut.

"Kami berharap, Tuhan mendengarkan kesungguhan permohonan kami ini," kata Sodikin.

Di Baturraden, Kabupaten Banyumas, ratusan petani menghadiri Grebeg Sunan, Minggu (20/12). Mereka memperebutkan padi dan sayuran dengan harapan panen pertanian mereka setelah tahun baru melimpah.

Muskotik (50), seorang petani, mengaku, sebagian padi dari gunungan itu dijadikan bibit, dicampur dengan bibit padi dari toko untuk persemaian. "Hasil panennya bagus kalau dicampur dengan padi dari gunungan ini," katanya yakin.

Kepala Seksi Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyumas Deskart Sotyo Jatmiko mengatakan, acara Grebeg Suran menjadi magnet bagi para pengunjung.

(M Burhanudin/Madina Nusrat)

Minggu, 20 Desember 2009

"Keberislaman" Masyarakat Jepang


Negeri dan masyarakat Jepang oleh beberapa kalangan mungkin dianggap sebagai negeri yang jauh dari ajaran Islam. Anggapan ini berangkat dari pemahaman tentang Islam yang legal-formal semata dengan kurang memahami spirit dari Islam itu sendiri.

Bila melihat masyarakat Jepang dari perspektif ini maka anggapan tersebut benar. Perspektif legal-formal dalam melihat agama melihat embel-embel dan label yang mengandung kata Islam adalah seolah representatif dari ajaran Islam itu sendiri sedangkan sebuah sistem yang tidak menyebut kata Islam dianggap tidak Islami.

Bagi sebagian masyarakat Jepang, Islam adalah agama yang jarang diketahui, apalagi ajarannya, walaupun di negeri ini memiliki dua orang ulama yang asli Jepang, Mita Ryochi atau biasa dipanggil dengan Mita Sensei (Guru atau orang pintar Mita) dan Dr Syauqi Futaki. Mita sensei adalah salah seorang penerjemah al-Qur'an ke dalam bahasa Jepang sedangkan Syauki Futaki pernah menjadi direktur rumah sakit.

Di Jepang, negara membebaskan warganya memeluk keyakinan berdasarkan pilihannya, namun secara tradisional, agama masyarakat Jepang adalah Shinto dan Budha. Dua agama ini adalah agama ardi atau agama bumi yang berasal dari refleksi manusia terhadap alam.

Walau pun beragama dengan agama bumi atau bahkan tidak beragama sama sekali, tetapi dalam kehidupan kesehariannya sangat lekat dengan spirit dari agama samawi atau agama langit, seperti Islam. Di dalam keseharian masyarakat Jepang, akan mudah dijumpai aplikasi dari ajaran Islam.

Menemukan Islam

Setidaknya terdapat lima sikap "keberislaman" masyarakat Jepang dalam kehidupan kesehariannya yang mudah kita jumpai, kelima sikap ini sangat kontras dengan masyarakat kita yang mengaku beragama Islam.

Hal pertama yang merupakan aplikasi ajaran Islam adalah Kebersihan, masyarakat Jepang walau pun tidak mengetahui adanya dalil annadzofatu minal iman (kebersihan sebagian dari iman) tetapi mereka hidup dengan dalil tersebut. Tanpa harus dijaga atau disuruh-suruh, masyarakat dengan kesadaran dirinya sudah menjaga kebersihan.

Masalah sampah misalnya, masyarakat sudah tidak lagi membuang sampah pada tempatnya tetapi sudah memilih mana sampah plastik, kertas, dan kaleng. Bahkan, bila disekitarnya saat itu tidak diketemukan tempat sampah, orang-orang akan membawa kaleng atau botol minuman kosong yang telah digunakan untuk dibuang di tempat sampah.

Hal kedua adalah tertib atau ketertiban. Masyarakat Jepang dalam kesehariannya sudah berlaku tertib. Tidak hanya dalam perkara besar seperti mengurus administrasi tetapi juga dalam hal sepele, seperti antri di kereta atau bis kota. Di jepang, akan mudah kita jumpai barisan orang yang berjejer hanya untuk menunggu giliran masuk gerbong kereta atau bis kota.

Seharusnya, berlaku tertib seperti yang dilakukan oleh masyarakat Jepang sudah kita lakukan di Indonesia, tapi nyatanya kita selalu berdesakan dan berebutan ketika hendak masuk kereta api atau menerima BLT. Bahkan akibat berlaku tidak tertib tidak sedikit orang yang terluka.

Padahal, di dalam ajaran Islam, terutama kaitannya dengan fikih, tertib adalah salah satu syarat untuk sah-nya suatu ibadah. Dalam wudhu misalnya, bila kita melakukan wudhu, lalu yang kita basuh telinga terlebih dulu baru kemudian membasuh muka, maka wudhu kita tersebut tidak sah, akibat dari wudhu yang tidak sah maka shalat-pun atau ibadah lainnya yang berkaitan dengan wudhu menjadi tidak sah. Dengan demikian, tertib adalah salah satu faktor penting dari sah-nya suatu ibadah.

Pertanyaannya adalah sudah kah kita berlaku tertib dalam kehidupan sesuai dengan ajaran agama yang setiap saat kita lakukan? Agak miris memang menyaksikan tradisi tertib di masyarakat kita. Sebagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, sejatinya berlaku tertib di Indonesia menjadi contoh bagi masyarakat lain. Tapi kita malah berlaku sebaliknya.

Hal ketiga adalah tepat waktu, bagi masyarakat Jepang, waktu dan ketepatan waktu benar-benar diperhatikan. Jangan sekali-kali kita terlambat datang bila berjanji dengan orang Jepang, kalau kita tidak ingin masih dipercaya lagi oleh mereka. Begitu tepatnya mereka dalam mengatur waktu, maka tidak jarang kita akan bertemu dengan orang yang sama pada saat yang sama di hari yang berbeda. Tepat waktu bukan hanya pada masalah-masalah yang sifatnya besar saja, melainkan pada skala yang lebih kecil. Untuk melihat bahwa ketepatan waktu adalah penting bagi masyarakat Jepang adalah dengan melihat jadwal kereta atau bis yang ada di Jepang. Semuanya memiliki jadwal kedatangan dan keberangkatan, dan semuanya sesuai waktunya, kalau pun tidak sesuai berarti ada sesuatu yang terjadi di luar perkiraan.

Orang-orang Jepang akan dengan tepat mengatakan berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk menumpuh perjalanan dari kota A ke kota B, hanya dari melihat jadwal kereta dan pengalaman. Berbeda dengan kita yang umumnya hanya berdasarkan perkiraan.

Lalu bagaimana dengan kita yang setiap saat diajarkan untuk tepat waktu dalam ibadah? Tampaknya, tepat waktu masih belum menjadi tradisi yang kuat di masyarakat Islam Indonesia. Di kita bahkan mengenal istilah jam karet, yakni suatu istilah yang merujuk pada molornya jadwal pertemuan. Bahkan terlambat atau molor satu jam pada suatu pertemuan adalah hal yang wajar bagi masyarakat kita.

Hal kempat adalah menghormati orang miskin atau yang lemah. Menghormati orang yang lemah adalah inti dari ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin (mengayomi dan memberikan kasih sayang pada semesta). Banyak hadits-hadits Nabi yang menganjurkan dan disertai dengan janji ketinggian kedarajat di hadapan Allah bila kita memperhatikan dan mengayomi kaum lemah.

Penghormatan masyarakat Jepang terhadap orang yang lebih lemah dibandingkan dirinya tercermin dalam prilaku di jalan raya. Entah karena sistem atau karena kesadaran sendir, tetapi yang pasti, bila anda pejalan kaki yang sedang menyeberang jalan maka pengendara motor atau mobil akan dengan sabar menanti anda lewat terlebih dulu, walaupun anda salah. Di jepang, pejalan kaki adalah kelompok yang paling dihormati, lalu setelahnya pengendara sepeda, sepeda motor, dan terakhir adalah pengendara mobil.

Bandingkan dengan kondisi di negara kita, entah karena sistemnya yang kurang bagus atau etika berlalu-lintas masyarakat kita yang masih rendah, yang pasti di Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia, pejalan kaki atau kaum yang lemah adalah kelompok yang paling menderita. Selain tidak ada tempat khusus bagi pejalan kaki juga pengendara sepeda motor dan mobil yang "kurang" ramah. Mereka akan membunyikan klakson dengan nyaring begitu melihat pejalan kaki yang berjalan dengan lambat. Hal ini tidak akan terjadi di Jepang.

Hal kelima adalah toleransi. Menghargai pendapat atau keyakinan orang lain juga menjadi bagian dari ajaran agama Islam. lakum dinukum waliyadiin yang terdapat dalam al-qur'an adalah salah satu bukti bahwa toleransi dan menghargai keyakinan orang lain dijunjung tinggi dalam agama Islam. Indonesia pada satu sisi dikenal sebagai negara dan bangsa yang menjungjung tinggi toleransi, tetapi pada sisi lain banyak konflik-konflik di daerah yang berakar pada masih kurang dewasanya kita dalam menyikapi perbedaan.

Selama berada di Jepang dan mengamati prilaku keseharian mereka di jalanan, saya justru menemukan spirit dari ajaran Islam yang telah diaplikasikan secara nyata oleh masyarakat Jepang. Lalu pantaskah kita masih dengan bangga menyebut diri Islam sementara dalam keseharian sikap keberislaman kita masih jauh dari ajaran Islam?

Wallahu a'lam bi al-shawab

Oleh Mohammad Fathi Royyani, Peneliti LIPI